Mengenal Lebih Dalam Periode Perkembangan Perfilman Indonesia: Mulai Dari Mati Suri Hingga Periode Emas

Sejarah Perfilman Indonesia


    Film saat ini menjadi media hiburan yang sangat laris dan populer di dunia. Lebih dari ratusan bahkan ribuan judul film lahir dalam setahun di seluruh dunia, termasuk film-film Indonesia didalamnya. Perfilman Indonesia saat ini sedang berada dipuncak-puncak kejayaannya, banyak film-film Indonesia yang berhasil tembus dan memenangkan penghargaan dari mancanegara, namun dibalik semua itu ada kisah tentang perjuangan perfilman Indonesia bisa sampai maju saat ini, dimulai dari naik turunnya jumlah film Indonesia bahkan sampai mati surinya perfilman Indonesia, semua itu terbagi-bagi dalam beberapa periode.

Era Kolonial (1900-1945)

Pada masa penjajahan oleh Belanda muncul film-film dari luar contohnya seperti film dari Amerika hingga Eropa yang saat itu film paling banyak diminati, sebutan film pada saat itu adalah “Gambar Idoep”, berkat perdana pemutaran film di Batavia banyak orang-orang yang takjub dan minat untuk menontonnya membuat harga tiket film sangat mahal dan berakhirnya dikurangi sebesarr 75% saat itu. Karena banyaknya film yang telah masuk ke Indonesia saat itu dan dikhawatirkan film-film yang orang-orang pribumi tonton dapat membuat citra terhadap kolonial buruk. Akhirnya dibentuklah undang-undang pertama mengenai film pada tahun 1916 yaitu pembentukan lembaga sensor. Pembentukan ini yang sampai sekarang tetap ada yang terkadang menjadi pembatas tema-tema film.

 

Loetoeng Kasaroeng

 

Film Loetoeng Kasaroeng tahun 1926 yang diproduksi oleh NV Java Film Company dan disutradarai oleh orang Belanda bernama L. Heuveldorp, merupakan film bisu pertama yang mengangkat cerita Indonesia, setelah itu muncul film kedua berjudul Eulis Atjih yang diproduksinya sama dengan film Loetoeng Kasaroeng. Barulah muncul berbagai perusahaan film yang diantaranya film yang diproduksi yaitu Lily Van Java oleh Halimun Film Bandung.

 

Tidak hanya orang-orang kolonial yang campur tangan terhadap perfilman Indonesia saat itu, orang-orang Tionghoa pun bermunculan untuk menggarap film-film aksi karena banjirnya penonton terhadap film-film kungfu mereka. Pada tahun 1930 tepatnya film Si Ronda garapan Lie Tek Swei hingga Si Pitung garapan Wong Brothers menjadi perkembangan menarik bagi perfilman Indonesia dengan masuknya film-film kungfu ke Indonesia, lahirlah film aksi asli Indonesia yang digarap oleh D.Djajakusuma berjudul Harimau Tjampa (1953) tentang silat Minangkabau.

 

Era Pasca Kemerdekaan (1945-1966)


Darah dan Doa

 

Pada saat kemerdekaan Indonesia barulah Indonesia memiliki filmnya sendiri yang digarap oleh Usmar Ismail berjudul Darah dan Doa/The Long March (1950) yang pengambilan gambar pertamanya dijadikan hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret 1950. Lalu Usmar Ismail dijuluki sebagai bapak perfilman nasional berkat dedikasinya terhadap perfilman Indonesia, karya beliau yang paling fenomeal adalah Tiga Dara (1957).

 

Tiga Dara

Film musikal komedi ini sukses di pasaran bahkan sampai saat ini telah tersedia versi resonasinya, tak hanya Tiga Dara. Film-film karya Usmar Ismail lainnya tak kalah populer seperti Lewat Djam Malam (1954), Asmara Dara (1958), Krisis (1953), dan masih banyak lagi.


Tatkala saat itu perfilman Indonesia mengalami krisis di era 50-an dan Usmar Ismail mencoba dengan menggarap film satu ini, hasilnya film Tiga Dara sukses menjadi box office dan ketiga pemerannya menjelit namanya, mendorong film-film lain untuk unjuk gigi.

 

 



Era Orde Baru (1966-1998)

    Pada era Orde Baru banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi terhadap perfilman Indonesia, salah satunya terkait badan penyensoran film, karena pada saat itu pemerintahan Soeharto pada tahun 1971 merombak secara besar-besaran sistem dan keanggotaan sensor yang lebih pada penguasaan birokrasi militer, dan partai berkuasa alias Golkar. Hal tersebut bahu membahu dengan upaya menumbuhkan ekonomi dengan menerima globalisme, hasilnya impor film naik pesat dan tema yang dpilih pun jotos dan berbau seks. Lembaga sensor saat itu sangat keras terhadap film-film berbau komunis, Islam radikal, dan segela sesuatu yang mengkritisi pemerintah akan tetapi cukup longgar bagi film-film berbau seks. Salah satu contohnya terlahir film Bernafas Dalam Lumpur (1991) yang penuh dengan dialog kasar, seksual, dan vulgar.

 

Bernafas dalam Lumpur

 

Pada era Orde Baru ini film horor menjadi yang paling laris terutama saat tahun 1980 sampai 1990. Karena disaat lembaga penyensoran membatasi tema-tema yang menyangkut dengan politik maka para produser film mengambil tema horor yang hasilnya sangat memuaskan, tentunya bila berbicara film horor saat itu pasti tak luput dengan nama Suzzana.

Suzzana atau lebih dikenal sebagai ikon horor film Indonesia berkat pencapaiannya yang luar biasa. Terbukti saat itu lebih dari 80 film horor, terdapat 16 film yang dimainkan oleh Suzanna.






Kembali lagi pada era Orde Baru yang terjadinya perombakan badan penyensoran terhadap yang berbau politik, mulailah terjadi para produser film terdorong untuk membuat film berbau seks dengan beragam cara, salah satunya tadi lewat film-film horor, dan lewat pendidikan seperti pada film Akibat Pergaulan Bebas. Pada periode 1992-1997 film-film seks semakin banyak bermunculan seperti Gadis Metropolis (1992), Ranjang Yang Ternoda (1993), hingga Gairah Malam (1993)

Ranjang yang Ternoda

Belum lagi karena maraknya impor film yang naik pesat mengakibat banjirnya film-film kungfu Hongkong tahun 1970an. Tercatat pada tahun 1968, film impor berjumlah hampir 499 film, sedangkan film Indonesia hanya berjumlah 6 film. Untungnya kondisi tersebut mendorong munculnya sistem kuota yang diberlakukan pada film impor yang dimulainya tahun 1975, yaitu film impor dibatasi hanya 80 judul film saja.

Pada tahun 1968 pernah dilakukan kebijakan oleh Menteri Penerangan, kebijakan tersebut merupakan kewajiban bagi setiap film yang diimpor untuk menyerahkan modal sebesar 250 ribu rupiah, biaya tersebut digunakan untuk memproduksi film dalam negeri lewat Dewan Film Nasional. Akhirnya pada tahun 1970an film laga Indonesia terselamatkan dan bangkit, lebih khususnya ketika menginjak 80an.

 

Era Pasca-Reformasi (1998-Sekarang)

    Dilihat dari sejarahnya saat era kolonial sampai era orde baru, perfilman Indonesia selalu naik turun, bila perfilman era orde baru ditandai oleh maraknya sensor terhadap hal-hal berbau politik dan longgar terhadap sensor berbau seks, maka perfilman era pasca-reformasi ini sebaliknya, lebih longgar terhadap hal-hal berbau politik tapi lebih sensitif oleh sensor masyarakat sendiri. Belum lagi saat era 90an perfilman Indonesia kembali diambang kritis dengan popularitas televisi swasta yang terus berkembang.

Di era 90an, sebuah periode film yang mengalami krisis lalu diambil alih oleh popularitas televisi swasta dan melahirkan banyak pengangguran, dimulai dari pekerja film yang banyak membuat film-film seksual yang kemudian dijual ke luar negeri dan nama-nama pembuatnya diubah dengan nama asing.

Pertumbuhan industri film pasca-reformasi tidak langsung membesar karena sempat dilumpuhkan. Mati surinya perfilman nasional terjadi dalam 10 tahun, seperti saat tahun 1999 Indonesia hanya punya 4 film baru. Akan tetapi barulah pada tahun 2000 naik menjadi 11 film dan berlanjut sampai 2005 meningkat dari 7,46% menjadi 50%

Petualangan Sherina


Riri Riza
Periode 1999-2005 menjadi periode perintisan penonton dan sutradara baru, dan salah satu film yang menarik perhatian pada saat itu adalah Petualangan Sherina (2000) disutradarai oleh Riri Riza. Ada pula Ada Apa Dengan Cinta karya Rudy Soedjarwo, Jelangkung karya Rizal Mantovani, Kiamat Sudah Dekat karya Deddy Mizwar, dan Brownies karya Hanung Bramantyo. Karya-karya tersebut menunjukkan berbagai variasi tema, genre, dan cara pandang lain saat pasca-reformasi.

 



Periode selanjutnya 2005-2015 adalah rentang waktu bagi industri film untuk membangun basis penonton dan era hadirnya sineas-sineas pasca-reformasi menuju internasional seperti Berlin, Venice, Cannes, Busan, Tokyo, Rotterdam, hingga Sundance Film Festival. Sineas-sineas tersebut adalah Joko Anwar, Ravi Bhawarni, Dirmawan Hatta, Yosep Anggie Noen, Paul Agusta, Kamila Andini, bahkan Edwin. Inilah eranya industri film Indonesia menjadi global dengan didukung oleh keberagaman film dan cara produksinya.


Tabel jumlah penonton film Indonesia (sumber: @bicaraboxoffice)

Periode penting selanjutnya adalah periode emas, hal ini terjadi pada tahun 2015-2019, akan tetapi pada 2020 muncul pandemi covid19 hal tersebut sangat disayangkan karena pada tahun 2020 diprediksi oleh Garin Nugroho akan menjadi puncak periode emas film Indonesia karena film-film Indonesia sedang naik-naiknya. Di tahun 2015 total penonton mencapai 16 juta, di tahun 2016 total penonton melonjak menjadi 37,2 juta, dan kembali naik pada tahun 2018 menjadi 48,6 juta. Lalu puncaknya di tahun 2019 mencapati 52 juta penonton dengan total 140 film. Dibuktikan dengan film Warkop DKI Reborn yang mencapai angka diatas 6 juta penonton, dan Dilan 1991 mencapai lebih dari 5 juta penonton.

Tetapi faktanya film horor menjadi genre film pertama yang berhasil membangkitkan penonton film Indonesia, dan menjadi genre film paling laris dalam perfilman Indonesia contohnya seperti Jelangkung (2001), Pengabdi Setan (2017), Perempuan Tanah Jahanam (2019), dan masih banyak lainnya.

 

(Sumber: “Era Emas Film Indonesia Memoar Garin Nugroho”)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kucumbu Tubuh Indahku, Banjir Penghargaan dan Kontroversi

Toy Photography: Sebuah Cara Berekspresi Lewat Mainan